Powered By Blogger

Senin, 08 Agustus 2011

Fadilah shalat


BAB I
PENDAHULUAN

Shalat adalah tiang agama, merupakan pegangan yang meyakinkan dan penghulu dari segala amal perbuatan. Sebagai pengabdian yang paling tulus kepada Allah SWT, upaya pendekatan secara sempurna tampa cela dan lalai sedikitpun, sepanjang malam dan siang hari betapapun hal itu menyebabkan letinya tubuh.
Firman Allah SWT
Èe@à6Ï9ur 7p¨Bé& $oYù=yèy_ %Z3|¡YtB (#rãä.õuÏj9 zNó$# «!$# 4n?tã $tB Nßgs%yu .`ÏiB ÏpyJÎgt/ ÉO»yè÷RF{$# 3 ö/ä3ßg»s9Î*sù ×m»s9Î) ÓÏnºur ÿ¼ã&s#sù (#qßJÎ=ór& 3 ÎŽÅe³o0ur tûüÏGÎ6÷ßJø9$# ÇÌÍÈ tûïÏ%©!$# #sŒÎ) tÏ.èŒ ª!$# ôMn=Å_ur öNßgç/qè=è% tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur 4n?tã !$tB öNåku5$|¹r& ÏJŠÉ)ßJø9$#ur Ío4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÎÈ
34.  Dan bagi tiap-tiap umat Telah kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang Telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah),
35.  (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang Telah kami rezkikan kepada mereka.

Firman Allah SWT
(#qãZŠÏètFó$#ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 $pk¨XÎ)ur îouŽÎ7s3s9 žwÎ) n?tã tûüÏèϱ»sƒø:$# ÇÍÎÈ tûïÏ%©!$# tbqZÝàtƒ Nåk¨Xr& (#qà)»n=B öNÍkÍh5u öNßg¯Rr&ur Ïmøs9Î) tbqãèÅ_ºu ÇÍÏÈ
45.  Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',
46.  (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
Firman Allah:
ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEŸx|¹ tbqãèϱ»yz ÇËÈ
1.  Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
2.  (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,
Zainal abiding putra Husain cucu Rasulullah SAW. Tatkala beliau berwudlu`, wajahnya pucat, dan tatkala berdiri untuk melakukan shalat, bergetarlah beliau. Ketika ditanya hal tersebut, beliau menjawab
وَيْحَكُمْ اَتَدْرُوْنَ بَيْنَ يَدَيْ مَنْ اَقْوَمُ وَلِمَنْ اُرِيْدُ اَنْ اُنَاجِيْ
Celakalah kau sekalian, apakah kalian tahu dihadapan siapa saya berdiri? Dan kepada siapa saya menghendaki untuk berbisik-bisik?
Diceritakan bahwa rumah Zainal Abidin terbakar, sedangkan beliau sedangkan beliau sedang sujud dalam shalatnya sehingga orang-orang berteriak “Ya Zainal Abidin, api elah menghanguskan rumahmu, berhentilah dari sujudmu” tapi beliau etap meneruskan shalatnya, ketika ditanya mengapa tidak mengangkat dari sujudnya dan meneruskan shalatnya, Beliau menjawab:
اَلْهَتْنِيْ عَنْهَا النَارُ اْلكُبْرَى
Saya lupa atas kobaran api karena saya sibuk memikirkan api neraka yang lebih dahsyat.
Diceritakan pula dari Muslim bin Yasar : bahwa pada suatu hari beliau shala di mesjid Basrah, lalu salah satu dinding itu jatuh, orang-orang kebanyakan sama terkejut karena kehebatan jatuhnya itu. Tetapi beliau tidak menoleh sedikitpun. Ketika ditanya hal tersebut beliau menjawab : saya tidak merasakan itu.
Rasulullah Bersabda:
مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلاَتَهُ عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ اِلاَ بُعْدَا
Barang siapa  yang shalatnya tidak dapat mencegah dirinya dari perbuatan buruk dan kemungkaran, maka orang itu tidaklah bertambah dari Allah melainkan hanya jauhnya saja (HR. Thabrani)
Ibnu Abbas berkata: Dua rakaat yang dilakukan dengan penuh berpikir adalah lebih baik dari pada bersembahyang semalam suntuk, sedang hatinya senantiasa lalai.
Imam Ghazali berkata:
صَلاَةُ اْلغَافِلِ لاَتَمْنَعُ عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ
Shalatnya orang yang lupa hatinya maka tidak dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ صَلَّى لِوَقْتِهَا وَاَسْبَغَ وُضُوءَهَاوَاَتَمَّ رُكُوْعَهَا وَسُجُوْدَهَا وَخُشُوْعَهَا عَرَجَتْ وَهِيَ بَيْضَاءُ مُسْفِرَةٌ تَقُوْلَ حَفِظَكَ اللهُ كَمَاحَفِظْتَنِيْ. وَمَنْ صَلَّى لِغَيْرِ وَقْتِهَا وَلَمْ يُسْبِغْ وُضُوْءَهَاوَلَمْ يُتِمَّ وُضُوْءَهَا وَلَمْ يُتِمَّ رُكُوْعَهَا وَلاَسُجُوْدَهَا وَلاَخُشُوْعَهَا عَرَجَتْ وَهِيَ سَوْدَاءمُظْلِمَةٌ تَقَولُ ضَيَّعَكَ اللهُ كَمَا ضَيَّعْتَنِيْ حَتَّى اِذَا كَانَتْ حَيْثُ شَاءَ اللهُ لُفَّتْ كَمَايُلَفُّ الثَّوَابُ اْلخَلِقُ فَيُضْرَبُ بِهَا وَجْهُهُ.
Barang siapa bersembahyang tepat pada waktunya dan melengkapkan wudlu`nya, menyempurnakan ruku`, sujud dan kekhusu`annya, maka shalat itupun naiklah keatas dalam keadaan putih dan cemerlang. Shalat itu berkata: semoga Allah menjaga dirimu sebagaimana engkau menjaga aku. Tetapi barang siapa yang bersembahyang tidak pada waktunya yang ditentukan dan tidak melengkapkan wudlu`nya serta tidak juga menyempurnakan ruku`, sujud dan tanpa kekhusu`an sama sekali, maka shalat itupun naik keatas dalam keadaan hitam kelam sambil berkata: Semoga Allah menyianyiakan dirimu sebagaimana engkau menyia-nyiakan aku. Selanjutnya setelah shalat itu berada disuatu tempat sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah, iapun lalu dilipatkan sebagaimana dilipatnya baju yang koyak-koyak, kemudian dipukullah kepada mukanya.(HR. Thabrani dan Baihaqi).
فَانْظُرْ اَيُّهَااْلغَفِلُ فِي الصَّلاَةِ بَيْنَ يَدَيْ مَنْ تَقُوْمُ وَمَنْ تُناَجِيْ
Perhatikanlah wahai orang yang lupa hatinya didalam shalatnya. Dihadapan siapakah kalian berdiri dan dengan siapakah kalian berbisik-bisik.
وَاسْتَحِ اَنْ تُنَاجِيَ مَوْلاَكَ بِقَلْبٍ غَافِلٍ وَصَدْرٍ مَشْحُوْنٍ بِوَسَاوِسِ الدُّنْياَ وَخَباَئِثِ الشَّهَوَاتِ
Malulah kalian, yang mana berbisik-bisik dengan tuhanmu sedangkan hatimu lupa karena diliputi urusan dunia dan syahwat yang jahat.
اَمَاتَعْلَمُ اَنَّهُ مُطَّلِعُ عَلَى سَرِيْرَتِكَ وَنَاظِرٌ اِلَى قَلْبِكَ وَإِنَّمَا يَتَقَبَّلُ مِنْ صَلاَتِكَ بِقَدْرِ خُشُوْعِكَ وَخُضُوْعِكَ وَتَوَضُّعِكَ وَتَضَرُّعِكَ
Apakah kalian tidak mengerti, sesungguhnya Allah mengetahui terhadap apa yang dirahasiakan hatimu, sedangkan Allah akan menerima shalat kalian menurut kadar kekhusukan, kerendahan diri dan kepatuhan kalian.
فَاعْبُدْهُ فِيْ صَلاَتِكَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لمَ ْتَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Maka menyembahlah kepada Allah di dalam shalat kalian seolah-olah melihat-Nya, apabila tidak bias melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihat kalian.
وَرُوِيَ عَنْ عَلِيْ بْنِ اَبِيْ طَالِبِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِيْ بَعْضِ اْلحُرُوْبِ اْلجِهَادِيَّةِ اُصِيْبَ بِسَهْمٍ ثُمَّ جُذِبَ السَّهْمُ مِنْ عُضْوِهِ الشَّرِيْفِ وَبَقِيَ النَّصْلُ فِيْهِ فَقَالُوْا اِذَالمَ ْيُجْرَحِ العُضْوُلاَيُمْكِنُ اِسْتِخْرَاجُ النَّصْلِ مِنْهُ وَنَخَافُ مِنْ اِذَاءِ اَمِيْرِاْلمُؤْمِنِيْنَ وَقَطْعِ عُضْوِهِ فَقَالَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اِذَااسْتَغَلْتُ بِالصَّلاَةِ فَاسْتَخْرِجُوْهُ فَافْتَتَحَ الصَّلاَةَ وَهُمْ قَطَعُوْا اَمْ جَرَحُوْا اْلعُضْوَ وَاسْتَخْرَجُوْا النَّصْلَ وَهُوَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَمْ يَتَغَيَّرُ فِيْ صَلاَتِهِ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ لِمَالَمْ تَسْتَخْرِجُوْهُ فَقَالُوْا قَدِاسْتَخْرَجْنَاهُ.
Diceritakan tatkala sayidina Ali terkena anak panah di dalam peperangan, ketika hendak dicabut, maka anak panah mengait pada daging beliau. Para sahabat berkata: kami tidak bisa mencabutnya dan tidak mungkin mengeluarkan mata abak panah kecuali dioperasi sedangkan kami khawatir akan menyakiti dengan memotong anggota tubuh amiril mu`minin, maka sayidina Ali berkata: dan ketika aku sedang shalat cabut dan keluarkan anak panah. Tatkala sayidina Ali sedang shalat, para sahabat mencabut dan mengeluarkan anak panah sedangngkan sayidina Ali tidak merasakan dan tidak berubah sedikitpun dalam shalatnya. Ketika shalatnya sudah selesai, maka sayidina Ali berkata: mengapa kalian tidak mencabut dan mengeluarkan anak panahnya? Para sahabat menjawab: sudah kami cabut dan mengeluarkannya.
فَانْظُرْ اِلَى اِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ حَتَّى لَمْ يَحِسَّ بِجُرْحِ اْلعُضْوِ وَاْستِخْرَاجِ النَّصْلِ مِنْ جَوْفِ اْللَّحْمِ فَنَحْنُ اِذَا عُضْنَا قُمْلَةٌ اَوْبُرْغُوْثٌ بَلْ اِذَا وَقَعَ عَلَيْنَا ذُبَابٌ نَتَشَوَّشُ وَلاَيَبْقَى لَنَا حُضُوْرٌ فَاَيْنَ نَحْنُ مِنْ تِلْكَ الحَالاَتِ وَالْمَقَامَاتِ.
Lihatlah apa yang telah dialami oleh sayidina Ali betapa khusyu` beliau menghadap kepada tuhannya tidak merasakan apa-apa tatkala mata anak panah dicabut dan dikeluarkan dari anggota badannya, sedangkan kita tatkala digigit nyamuk, semut, kutu busuk bahkan hanya dihinggapi lalattelah mengganggu shalat kita, membuyarkan kehusyukan dan hati kita tidak hadir lagi dihadapan Allah.
قَالَ سَيِّدِنَا مُعِيْنُ الدِّيْنِ الصَّفَوِيُّ فِيْ تَفْسِيْرِهِ جَوَامِعُ التِّبْيَانِ وَاْلأَصَحُّ اَنَّ اْلخُشُوْعَ مِنْ فَرَائِضِ الصَّلاَةِ.
Sayid Mu`inuddin Shafawi berpendapat di dalam kitab tafsir Jawami at-tibyan: sesungguhnya khusyu` bagian dari fardlu shalat.
وَقَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ مَنْ لَمْ يَخْشَعُ فَسَدَتْ صَلاَتُهُ.
Imam Sufyan Tsauri berkata: Barang siapa yang tidak khusyu`,maka shalatnya rusak.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      UDZUR SHALAT
Adapun udzur dalam shalat ada dua macam:
اَلأَوَّلُ النَّوْمُ اَيْ اِذَالمَ ْيَتَعَدَّ بِهِ اَيْ لمَ ْيَتَجَاوَزِاْلحَدَّبِهِ. فَلَوْ تَيَقَّظَ مِنْ نَوْمِهِ وَقَدْ بَقِيَ مِنْ وَقْتِ اْلفَرِيْضَةِ مَالاَيَسَعُ إِلاَّالْوُضُؤَاَوْبَعْضَهُ فَلاَيجَِبُ قَضَاؤُهَا فَوْزًا وَلَوْ بَقِيَ مِنَ اْلوَقْتِ مَايَسَعُ اْلوُضُؤَ وَدُوْنَ رَكْعَةٍ وَلَهُ صَلاَةٌ فَائِتَهٌ قَدَّمَ تِلْكَ اْلفَائِتَةَ عَلَى اْلحَاضِرَةِ ِلأَنَّ صَاحِبَةَ اْلوقْتِ صَارَتْ فَائِتَةً اَيْضًا.
Sedangkan yang pertama adalah tidur, seiranya tidak melewati batas dalam tidurnya. Apabila seseorang bangun dari tidurnya dan tersisa waktu shalat fardlunya akan tetapi tidak mencukupi, kecuali hanya untuk berwudlu` maka tidak wajib mengqada`  shalatnya dengan segera (melakukan shalat yang hadir kemudian mengqada` shalat yang dilewati)
Dan apabila waktu yang tersisa cukup hanya untuk berwudlu` dan shalat, akan tetapi tidak sampai satu rakaat, maka shalatnya termasuk shalat yang hilang waktunya. Maka yang didahulukan adalah shalat yang terlewati (dengan niat mengqadla`, apabila berniat adaan dengan maksud adaan haqiqi maka shalatnya tidak jadi), kemudian mengerjakan shalat yang hadir, karena waktu yang tersisa menjadi waktu yang terlewati.
Rasulullah bersabda:
مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ اَوْنَسِيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا. (رواه الشيخان)
Barangsiapa yang tidur dengan meninggalkan sembahyang atau lupa, maka hendaknya Ia sembahyang apabila Ia ingat.
Waktu mengqada` shalat tidak ditentukan, meskipun tidak sesuai dengan waktunya. Contoh: mengqada` shalat subuh diwaktu dzuhur, mengqada` shalat ashar diwaktu isya`. Bahkan mengqada` pada waktu yang dimakruhkan tetap diperbolehkan, kecuali mengqada` shalat ketika khatib sedang membaca khutbah jum`at, maka hukumnya haram dan shalatnya tidak jadi.
ثُمَّ اَعْلَمُ اَنَّهُ اِذَا نَامَ قَبْلَ دُخُوْلِ اْلوَقْتِ فَغَاتَتْهُ الصَّلاَةُ فَلاَ اِثمْ َعَلَيْهِ وَاِنْ عَلِمَ اَنَّهُ يَسْتَغْرِقَ اْلوَقْتَ وَلَوْجُمْعَةً عَلَى الصَّحِيْحِ وَلاَيَلْزَمُهُ القَضَاءُ فَوْزًا.
Ketahuilah, ketika seseorang tidur sebelum masuk waktu shalat kemudian shalatnya terlewati, maka Ia tidak berdosa, walaupun ia tahu bahwa dengan adanya tidur tersebut shalatnya akan terlewati, meskipun shalat yang terlewati adalah shalat jum`at, serta tidak wajib mengqada`nya dengan segera (menurut pendapat yang benar.
Rasulullah bersabda:
لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيْطُ اِنَّمَا التَّفْرِيْطُ عَلَى مَنْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتىَّ يَدْخُلَ وَقْتُ اْلأُخْرَى (رواه مسلم)
Tidak dikatakan lalai disebabkan tidur, sedangkan yang dikatakan lalai adalah orang yang tidak mengerjakan shalat hingga waktu shalat yang lain.
وَاَمَّا اِنْ نَامَ بَعْدَ دُخُوْلِهِ فَإِنْ عَلِمَ اَنَّهُ يَسْتَغْرِقُ اْلوَقْتَ حَرُمَ عَلَيْهِ النَّوْمُ وَيَأْثُمَ اِثْمَيْنِ اِثْمَ تَارِكُ الصَّلاَةِ وَاِثْمَ النَّوْمِ
Apabila seseorang tidur sesudah masuk waktu shalat dan ia mengetahui bahwa adanya tidur tersebut akan menghabiskan waktu shalat,maka tidur tersebut haram dan ia mendapatkan dua dosa, dosa karena meninggalkan dan dosa karena tidur.
وَيَجِبَ اِيْقَاظُ مَنْ نَامَ بَعْدَ اْلوُجُوْبِ وَيُسَنُّ اَيْقَاظُ مَنْ نَامَ قَبْلَ الوَقْتِ اِنْ لَمْ يَخْشَ ضَرَرًا لِيَنَالَ الصَّلاَةَ فِيْ اْلوَقْتِ
Dan wajib membangunkan orang yang sedang tidur, yang mana tidurnya sesudah masuk shalat, dan disunnahkan membangunkan orang yang sedang tidur, yang mana tidurnya sebelum masuk waktu shalat, kalau sekiranya tidak menimbulkan bahaya, tujuannya tidak lain agar ia mengerjakan shalat tepat waktu.
وَالثَّانِي النِّسْيَانُ اَى اِذَا لَمْ يَنْشَاءْ عَنْ تَقْصِيرٍ كَلَعْبِ الشَّطْرَنْجِ
Adapun udzur shalat yang kedua adalah lupa, apabila adanya lupa itu tidak timbul dari perkara yang sembrono seperti bermain catur, volley, sepak bola dan sebagainya.

B.       WAKTU SHALAT FARDHU
1.      Shalat Dzuhur
Waktu shalat dzuhur adalah sejak matahari condong dari pertengahan siang, sedangkan akhir waktu dzuhur adalah apabila baying-bayang sesuatu telah sama dengan panjangnya.
2.         Shalat Ashar
Awal waktu ashar adalah sejak baying-bayang sesuatu lebih dari pada panjangnya. Adapun shalat ashar ada lima waktu yaitu:
a.       Waktu fadhilah (awal waktu)
b.      Waktu ikhtiyar (hingga bayangan sesuatu menyamai dua kali bendanya)
c.       Waktu Jawaz (hingga terbenam matahari)
d.      Waktu jawaz tanpa makruh (sejak terjadinya bayangan sesuatu menyamai dua kali bendanya hingga mega merah dibarat)
e.       Waktu haram (waktu yang tidak mencukupi melakukan shalat)
3.    Shalat Maghrib
Waktunya sejak terbenam matahari (semua bulatan matahari) hingga terbenam mega merah
4.    Shalat Isya`
Waktunya adalah sejak terbenam mega merah sampai terbitnya fajar kedua, sedangkan shalat isya` ada dua waktu, yaitu:
a.       Waktu ikhtiyar (hingga  malam)
b.      Waktu jawaz (hingga terbit fajar kedua)
5.    Shalat Shubuh
Adapaun waktu shalat subuh adalah mulai dari terbit fajar kedua hingga terbit matahari. Sedangkan sembahyang subuh ada lima waktu, yaitu:
a.       Waktu fadhilah (awal waktu)
b.      Waktu ikhtiyar (sejak terbit fajar kedua sampai bersinar)
c.       Waktu jawaz tanpa makruh (hingga terbit merah matahari)
d.      Waktu jawaz dengan makruh (hingga terbit matahari)
e.       Waktu haram (waktu yang tidak mencukupi untuk melakukan shalat)

C.      Syarat-Syarat Sahnya Shalat
Adapun syarat sahnya shalat ada delapan, yaitu :
1.      Suci dari hadats kecil dan hadats besar
فَلَوْ صَلَّى بِدُوْنِهَا وَلَوْنَاسِياً لَمْ تَصِحَّ صَلاَتُهُ
Apabila seseorang mengerjakan sembahyang tidak suci dari hadats kecil atau hadats besar walaupun lupa, maka shalatnya tidak sah.
Bersabda Rasulullah SAW.
لاَيَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ اَحَدِكُمْ اِذَا اَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّاءَ
Allah tidak menerima shalatnya seseorang diantara kamu apabila ia berhadats sampai ia berwudlu` (HR. Bukhari dan Muslim)
Firman Allah SWT:
وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَهَّروْا
Jika kamu junub, maka hendaklah kamu bersuci…..(al-Maidah : 6).
اَمَافَاقِدُ الطَهُوْرَيْنِ فَلاَتُشْتَرَطُ الطَهَرَةُ فِيْ حَقِّهِ مَعَ وُجُوْبِ الإِعَادَةِ عَلَيْهِ
Adalah orang yang sepi dari dua perkara yang mensucikan yaitu air dan abu, maka suci tidak disyaratkan di dalam haknya akan tetapi wajib mengulangi shalatnya.
2.      Suci pakaian, badan dan tempat dari najis yang tidak dima`fu.
Firman Allah SWT.
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Dan bersihkanlah pakaianmu (QS. Al-Mudatsir:4)
Yang dikatakan pakaian adalah Sesuatu yang dipakai dan yang dibawa, walaupun pakaian tersebut tidak bergerak ketika orang sedang melakukan shalat, dan sesuatu yang bersambung dengan yang dipakai.
Yang dikatakan badan adalah semua anggota tubuh (dari ujung rambut sampai ujung kaki) serta merata pada bagian dalam hidung, mulut dan mata.
Sedangkan yang dikatakan tempat adalah perkara yang bertemu dengan sesuatu dari badan orang yang shalat atau pakaiannya.
3.      Menutupi aurat dengan sesuatu yang bias mencegah terlihatnya warna kulit, baik shalat sendirian dan sepi dari orang lain meskipun dalam keadaan gelap gulita, tetap disyaratkan menutupi auratnya.
Firman Allah SWT:
ياَبَنِيْ اَدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Hai anak Adam, ambillah (pakainmu) perhiasanmu ketika hendak sembahyang di Mesjid (QS. Al-A`raf : 31)
Adapun yang maksud perhiasan dalam ayat tersebut menurut Ibnu Abbas adalah pakaian untuk sembahyang.
عَوْرَةُ الرَّجُلِ وَلَوْ كَافِرًا اَوْعَبْدًا اَوْصَبِيًّا وَلََوْ غَيْرَ مُمَيِّزٍ مُطْلَقاً سَوَاءٌ فِي الصَلاَةِ اَو خَارِجَهَا مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ لَكِنْ بِالنِّسْبَةِ لِنَظَرِ مَحَارِمِهِ وَمُماَثِلِهِ اَمَّا نَفْسُ السُّرَّةِ والرُّكْبَةِ فَلَيْسَ بِعَوْرَةٍ لَكِنْ يَجِبُ سَتْرِبَعْضِهِما
Adapun aurat laki-laki walaupun ia kafir, budak, anak kecil ataupun belum pintar, baik diwaktu sembahyang maupun diluar sembahyang adalah antara pusar dan dua lutut. Kalau dinisbatkan pada pandangan mahramnya dan sesamanya. Sedangkan pusar dan lutut bukan termasuk aurat akan tetapi wajib menutupi sebagian.
اَمَّا اَوْرَةُ بِالنِّسْبَةِ لِنَظَرِ الأَجْنَبِيَّةِ فَجَمِيْعُ بَدَنِهِ حَتَّى الوَجْهِ وَالكَفَّيْنِ وَلَوْ عِنْدَ أَمْنِ الفَتْنَةِ وَلَوْ رَقِيْقاً فَيَحْرُمُ عَلَيْهاَ اَنْ تَنْظُرَ اِلىَ شَيْئٍ مِنْ ذَلِكَ وَباِلنِّسْبَةِ لِلْخَلْوَةِ السَّوْاَتاَنِ فَقَطْ عَلَى المُعْتَمَدِ
Adapun aurat laki-laki kalau dinisbatkan pada pandangan perempuan lain (bukan mahram) maka semua badan kecuali wajah dan telapak tangan walaupun aman dari fitnah dan hamba sahaya, maka haram atas perempuan melihat pada sesuatu dari badan laki-laki tersebut. Sedangkan aurat laki-laki kalau dinisbatkan dalam keadaan sendirian hanyalah dua kemaluan saja (Qabul dan Dubur) menurut qaul Mu`tamad.
اَنَّ نَظْرَ المَرْأَةِ اِلَى زَوْجِهَا جَائِزٌ فِيْ جَمِيْعِ بَدَنِهِ كَعَكْسِهِ لَكِنْ نَظْرُهُ اِلَى فَرْجِهَا قُبُلاً اَوْدُبُراً مَكْرُهٌ اِذَاكاَنَ بِغَيْرِ حَاجَةٍ وَاِلَى بَاطِنِهِ اَشَدُّ كَرَهَةً
Pada hakikatnya perempuan boleh melihat semua badan suaminya dan juga sebaliknya, akan tetapi kelau melihat kemaluan dan duburnya tanpa ada hajat maka hukumnya makruh, dan lebih dimakruhkan apabila sampai melihat pada bagian dalam dari farji (kemaluan dan dubur).
Perlu kehati-hatian ketika melakukan shalat, tanpa disadari gulungan sarung kita ada dibawah pusar, sedangkan sedangkan kita tidak memakai kaos dalam sehingga aurat akan terlihat lewat sela-sela kancing baju.
وَعَوْرَةُ الحُرَّةِ وَمِثْلُهَا الحُنْثَى فِيْ الصَّلاَةِ جَمِيْعُ بَدَنِهَا مَاسِوَى الوَجْهِ وَاْلكَفَّيْنِ اَي ظَهْراً وَبَطْنًا اِلىَ الكُوْعَيْنِ فَلاَ يَجِبُ سَتْرُهُماَ وَدَخَلَ فِيْماَ سِوَاهُمَا الشَّعْرُ وَكَذَا باَطِنُ القَدَمِ فَيَجِبُ سَتْرُهُ وَلَوْ بِالأَرْضِ حَالَ القِيَامِ
Adapun aurat perempuan merdeka dan banci di dalam shalat adalah kesemua badannya selain kecuali wajah dan kedua telapak tangan bagian luar dan dalamnya hingga dua pergelangan tangan, sedangkan rambut termasuk selain wajah dan telapak tangan. Kalau ada satu helai rambut yang tampak ketika shalat, maka shalatnya menjadi batal. Dan juga telapak kaki bagian dalam wajib ditutupi walaupun dengan bumi ketika berdiri.
فَاِنْ ظَهَرَ مِنْ بَاطِنِ القَدَمِ شَيْئٌ عِنْدَ سُجُوْدِهاَ اَوْ ظَهَرَ عَقِيْبُهَا عِنْدَ رُكُوْعِهَااَوْ سُجُوْدِهَا بَطَلَتْ صَلاَتُهَا
Apabila tampak bagian dalam telapak kaki dan tumitnya ketika rukuk atau sujud maka shalatnya batal.
وَعَوْرَةُ الحُرَّةِ عِنْدَالأَجَانِبِ جَمِيْعُ البَدَنِ حَتَّى اْلوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَلَوْ عِنْدَ أَمْنِ الْفِتْنَةِ
Adapun aurat perempuan merdeka disamping laki-laki yang bukan muhrimnya adalah semua badannya hingga wajah dan telapak tangannya meskipun aman dari fitnah.
وَعِنْدَ مَحَارِمِهاَ وَالنِّسَاءِ مَابَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ
Apabila perempuan disamping muhrimnya adalah antara puar dan lutut.
4.      Menghadap Qiblat
وذلك بِالصَّدْرِ لاَبِاْلوَجْهِ فِي حَقِّ القَائِمِ اَوِ اْلقَاعِدِ وَقْتَ اْلقِيَامِ وَاْلقُعُوْدِ اَمَّا فِيْ اْلرُّكُوْعِ  وَاْلسُّجُوْدِ فَمُعْظَمُ اْلبَدَنِ اَمَّا اْلمُضْطَجِعُ فَيَجِبُ بِاْلوَجْهِ وَمُقَدِّمَ اْلبَدَنِ وَاْلمُسْتَلْقِي فَكَذَلِكَ مَعَ اَخْمُصَيْهِ وَيَجِبُ رَفْعُ رَأْسِهِ قَلِيْلاً اِنْ اَمْكَنَ.
Menghadap qiblat bagi orang yang shalat berdiri atau shalat duduk yaitu dengan dadanya bukan dengan wajahnya disaat berdiri dan disaat duduk. Sedangkan disaat rukuk dan sujud yaitu dengan sebagian besar badannya. Adapun bagi orang yang shalatnya berbaring, maka wajib dengan wajah dan bagian depan badannya. Sedangkan bagi orang yang shalat telentang, maka wajib dengan wajah dan bagian depan badannya serta kedua telapak kakikanya dan juga wajib mengangkat sedikit kepalanya kalau memang dimungkinkan.
وَيَجُزُ تَرْكُ اسْتِقْبَالِ اْلقِبْلَةِ فِيْ حَالَتَيْنِ اْلاَوَّلَى فِيْ شِدَّةِ اْلخَوْفِ فَاِذَا اْلتَحَمَ اْلقِتَالُ وَلَمْ يَتَمَكَّنُوْا مِنْ تَرْكِهِ بِحَالٍ لِقِلَّتِهِمْ وَكَثْررَةِ اْلعَدُوِّ اَوِ اشْتَدَّاْلخَوْفُ وَلَمْ يَلْتَحِمِ اْلقِتَالُ وَلَمْ يَأْمَنُوا اَنْ يَرْكَبَ عَدُوُّ  اَكْتَافَهُمْ لَوْوَلَّوْا وَتَفَرَّقُوا صَلَّوْا بِحَسَبِ اْلإِمْكَانِ وَلَيْسَ لَهُمْ التَّأْخِرُ عَنِ اْلوَقْتِ
Ada dua hal yang membolehkan shalat tidakmenghadap qiblat, yaitu:
Pertama, Sangat takut, manakala peperangan sedang berkecamuk dan tidak mengkin muslimin meninggalkan peperangan hanya untuk melakukan shalat dengan syarat-syarat yang telah ditentukan yaitu menghadap qiblat, dikarenakan muslimin sedikit sedangkan musuh banyak. Atau disituasi peperangan tidak berkecamuk akan tetapi muslimin sangat takut karena kalau berpaling tidak aman terhadap musuh, takut meraka (musuh) menguasai medan peperangan. Maka bershalatlah sebisa mungkin dan tidak ada bagi muslimin mengakhiri shalatnya dari waktunya.
اْلحَلَةُ الثَّنِيَةُ فِي اْلنَّافِلَةِ فِيْ السَّفَرِ اْلمُبَاحِ فَلاَ يُشْتَرَطُ طُوْلُهُ وَاَقَلُّهُ اَنْ يُسَفِرَ اِلَى مَحَلٍّ لاَيَسْمَعُ فِيْهِ نِدَاءَ اْلجُمْعَةِ فَيَجُزُ لِلْمُسَفِرِ التَّنَفُّلُ رَاكِباً وَماَشِياً اِلَى جِهَةِ مَقْصَدِهِ فِيْ السَّفَرِ الطَّوِيْلِ وَاْلقَصِيْرِ ثُمَّ اِنْ رَاكِبَ الدَّابَّةِ وَلَوْ فِيْ نَحْوِ هَوْدَجٍ لاَ يَجِبُ عَلَيْهِ وَضْعُ جَبْهَتِهِ فِيْ رُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ عَلَى سَرْجِهَا اَوْمَعْرَفَتِهَا بَلْ يُؤْمِئُ بِهِمَا وَيَكُنُ سُجُوْدُهُ اَخْفَضَ مِنْ رُكُوْعِهِ هَذَا اِذَا لَمْ يُمْكِنْهُ اِتْمَامُهُمَا وَاْلإِسْتِقْبَالُ فِي جَمِيْعِ صَلاَتِهِ وَاِلاَّ وَجَبَ ذَلِكَ لِتَيَسُّرِهِ  عَلَيْهِ وَاِنْ سَهُلَ عَلَيْهِ غَيْرُهُمَا مِنْ بَقِيَّةِ الأَرْكَانِ فَلاَ يَلْزَمُهُ شَيْئٌ فِيْ جَمِيْعِ ذَلِكَ اِلاَّ اْلإِسْتِقْبَالِ فِيْ تَحَرُّمِهِ فَقَطْ اِنْ سَهُلَ وَاِلاَّ فَلاَ يَلْزَمُهُ شَيْئٌ.
Kedua, sembahyang sunnah waktu dalam perjalanan yang diperbolehkan oleh syariat dan tidak disyaratkan jauhnya perjalanan yang ditempuh. Sedangkan paling dekat perjalanan yang ditempuh oleh musyafir  yaitu sekiranya tidak terdengar suara adzan shalat jum`at. Musyafir yang melakukan perjalanan jauh maupun dekat adalah boleh mengerjakan shalat sunnah dalam keadaan mengendarai kendaraan dan keadaan berjalan kaki, maka tidak wajib meletakkan dahinya pada waktu rukuk dan sujud diatas pelana atau surainya, bahkan cukup dengan isyarat, sedangkan sujudnya lebih rendah daripada rukuknya. Semuanya itu dilakukan dengan isyarat apabila menyempurnakan rukuk dan sujud dengan menghadap qiblat tidak memungkinkan. Dan apabila bisa melakukan rukuk dan sujud dengan menghadap qiblat, maka wajib dilakukan, Karena tidak sulit melakukan hal tersebut. Dan apabila selain rukuk dan sujud tidak sulit mengerjakannya, yaitu yang tersisa dari rukun-rukun sembahyang, maka tidak wajib mengerjakannya kecuali hanya menghadap qiblat ketika takbiratul ihram, kalau sekiranya tidak bisa,maka cukup mengambil kemudahan yaitu tidak wajib sesuatu apapun.
وَاَمَّا اْلمَشِي فَيَمْشِيْ فِيْ اَرْبَعَةِ اَشْيَاءَ اْلقِيَامِ وَاْلإِعْتِدَالِ وَالتَّشَهُّدِ وَالسَّلاَمِ وَيَسْتَقْبِِلُ اْلقِبْلَةَ فِيْ اَرْبَعَةِ اْْلإِحْرَمِ وَالرُّكُوْعِ وَالسُّجُدِ وَاْلجُلُوسِ بَيْنَ سَجْدَتَيْنِ وَلاَيَكْفِيْهِ اْلإِيْمَاءُ بِالرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ.
Adapun yang berjalan kaki, maka berjalanlah di dalam empat perkara yaitu : ketika berdiri, i`tidal, tahiyat, dan salam. Sedangkan menghadap qiblat juga ada empat yaitu: ketika takbiratul ihram, rukuk, sujud, dan duduk diantara dua sujud, sedangkan rukuk dan sujud tidak cukup dengan isyarat.
5.      Masuk waktu
Yaitu dengan mengetahui masuk waktu secara yakin atau menduga dengan ijtihat.
فَمَنْ صَلَّى بِدُوْنِهَا بِاَن هَجَمَ وَصَلَّى لَمْ تَصِحَّ صَلاَتُهُ وَاِنْ وَقَعَتْ فِيْ اْلوَقْتِ لِعَدَمِ الشَّرْطِ.
Barangsiapa yang shalat tanpa mengetahui masuknya waktu, yang mana ia datang dan langsung melakukan shalat, maka shalatnya tidak sah walaupun shalatnya tersebut terjadi pada waktu dikarenakan tidak memenuhi syarat.
بِخِلاَفِ مَاصَلَّى بِالإِجْتِهَادِ ثُمَّ تَبَيَّنَ اَنَّ صَلاَتُهُ كَانَتْ قَبْلَ اْْلوَقْتِ فَإِنَّهُ اِنْ كَانَ عَلَيْهِ فَائِتَةٌ مِنْ جِنْسِهَا وَقَعَتْ عَنْهَا وَاِلاَّ وَقَعَتْ لَهُ نَفْلاً مُطْلَقًا.
Berbeda dengan melakukan shalat dengan berijtihad, kemudian tampak bahwa sesungguhnya shalat yang dikerjakan tersebut masih belum masuk waktunya, maka kalau orang tersebut masih mempunyai tanggungan shalat yang sama jenisnya dengan shalat yang dikerjakan masih belum masuk waktunya, maka shalat tersebut menjadi pengganti (qada`) terhadap tanggungan sembahyangnya. Apabila tidak mempunyai tanggungan shalat, maka shalat yang dikerjakan masih belum masuk waktu, maka kedudukannya menjadi shalat sunnah.
6.      Mengetahui kefardhuan shalat
بِكَوْنِ الصَّلاَةِ الْمَفْرُوْضَةِ فَرْضاً وَهَذَا لاَبُدَّ مِنْهُ فِيْ حَقِّ الْعَامِّيِّ وَغَيْرِهِ
Dengan adanya shalat fardhu yang difardhukan, maka wajib bagi orang yang bodoh maupun tidak untuk mengetahuinya.
7.      Jangan melakukan i`tiqat fardhu pada sunnah
اَنْ لاَيَعْتَقِدَ فَرْضاً مِنْ فُرُوْضِهاَ سُنَّةٌ
Seseorang jangan sampai berkeyakinan fardhu dari beberapa fardhunya shalat pada sunnah.
8.      Menjauhi perkara yang membatalkan shalat.
كَتَطْوِيْلِ رُكْنٍ قَصِيْرٍ عَمْدًا وَنَحْوِهِ
Seerti memanjangkan rukun yang pendek dengan sengaja, dan yang sejenisnya.

D.      Syarat-Syarat Wajib Shalat Lima Waktu
Adapun syarat-syarat wajibnya shalat lima waktu ada enam, yaitu:
1.      Islam
Semua orang islam wajib melakukan shalat, sedangkan orang yang bukan islam tidak wajib melakukan shalat dan ia tidak ada tuntutan di dunia, karena meskipun ia melakukan shalat shalatnya tidak sah, akan tetapi ia akan menerima siksa di akhirat.
فَلاَ يَجِبُ عَلَى الْكَافِرِ الأَصْلِيِّ الْقَضَاءُ اِذاَ اَسْلَمَ بَلْ لاَ يَنْعَقِدُ
Tidak wajib bagi orang kafir mengganti shalatnya ketika ia masuk islam, bahkan shalatnya tidak sah kalau menggantinya.
وَاَمَّا الْمُرْتَدُّ فَيَجِبُ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ حَتَى زَمَنَ الْجُنُوْبِ دُوْنَ زَمَنِ الْحَيْضِ وَالنِّفاَسِ
Adapun bagi orang yang murtad, kalau ia kembali masuk islam, maka wajib mengganti shalatnya meskipun gila pada waktu murtad, sedangkan pada waktu haid dan nifas tidak wajib mengganti shalatnya.
2.      Baligh
Adapun tanda-tanda dari orang baligh adalah sebagai berikut:
a.       Berumur 15 tahun/keluar mani
b.      Bermimpi basah
c.       Haid
فَلاَ يَجِبُ الْقَضَاءُ عَلَى الصَّبِيِّ بَعْدَ الْبُلُوْغُ لَكِنْ يُنْذَبُ لَهُ اِذاَ بَلَغَ قَضَاءُ مَافَاتَهُ زَمَنَ التَّمْيِيْزِ اِلَى بُلُوْغِ دُوْنَ مَاقَبْلَهُ فَاِنَّهُ يَحْرُمُ وَلاَيَنْعَقِدُ خِلاَفاً لِجَهَلَةِ الصُّوْفِيَّةِ قَالَهُ عَبْدُ الْكَرِيْمِ
Tidak diwajibkan bagi anak kecil mengganti shalatnya setelah ia baligh, akan tetapi disunnahkan mengganti shalatnya yang terlewatkan ketika ia sudah tamyiz (pintar) hinngga baligh. Bukan mengganti shalat sebelum ia tamyiz. Abdul Karim berkata bahwa haram dan tidak sah mengganti shalatnya kalau ia belum tamyiz. Berbeda dengan pendapat orang-orang sufi yang bodoh yaitu tetap disunnahkan.
3.      Berakal
فَلاَ قَضَاءَ عَلَى الْمَجْنُوْنِ اِذاَ اَفَاقَ اِلاَّ الْمُرْتَدَّ وَلاَ الْمُغْمَى عَلَيْهِ اِلاَّ اِذَا تَعَدَّى فَيَجِبُ عَلَيْهِمَا حِيْنَئِذٍ وَاَمَّا اِذَا لَمْ يَتَعَدَّ فَلَيْسَ بِوَاجِبٍ بَلْ يَسْتَحَبُّ عَلَى الْمُعْتَمَدِ
Orang yang gila tidak diwajibkan mengganti shalatnya apabila ia sembuh kecuali ia murtad sebelum gila, dan juga bagi orang yang pingsan tidak wajib mengganti shalatnya kecuali pingsannya dikarenakan ia sombong, maka ia wajib mengganti shalatnya, apabila tidak sembrono maka shalatnya tidak wajib bahkan disunnahkan mengganti shalatnya. Menurut qaul mu`tamad.




4.      Berfungsinya panca indra dan pendengaran
فَلاَ تَجِبُ الصَّلاَةُ عَلَى مَنْ خُلِقَ اَصَمَّ اَعْمَى وَلَوْ ناَطِقاً فَلاَ يَجِبُ عَلَيْهِ القَضَاءُ اِنْ زَالَ مَانِعُهُ
Tidak diwajibkan shalat bagi orang yang keadaan tuli dan buta walaupun ia bisa berbicara, dan juga tidak wajib mengganti shalatnya apabila ia sembuh.
5.      Telah sampai dakwah
فَلاَ تَجِبُ الصَلاَةُ عَلَى مَنْ لَمْ تَبْلُغُهُ الدَّعْوَةُ
Shalat tidak wajib bagi orang yang belum menerima dakwah (ajaran-ajaran islam belum sampai kepadanya).
6.      Suci dari haid dan nifas
فَلاَ يَجِبُ عَلَى الحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ قَضَاؤُهَا وَلَوْ فِيْ رِدَّةِ بَلْ وَلاَ يُنْذَبُ قَالَ مُحَمَّدُ البَقْرِيُّ فَلَوْ اَرَادَتَا الْقَضَاءَ فَاِنَّهُ يَصِحُّ مَعَ الْكَرَاهَةِ
Wanita yang haid dan nifas tidak wajib mengganti shalatnya walaupun pada waktu murtad bahkan tidak disunnahkan. Imam Muhammad Bakri berkata: apabila wanita yang haid dan nifas menghendaki mengganti shalatnya, maka tetap sah akan tetapi makruh.

E.       Rukun-Rukun Shalat
Adapun rukun-rukun shalat ada 17 macam
1.      Niat di dalam hati
فَلاَ يَجِبُ النُّطْقُ بِهاَ بِاللِّسَانِ لَكِنْ يُسَنُّ لِيُعَوِنَ الْلِسَانُ الْقَلْبَ وَلاَ عِبْرَةَ بِنُطْقِ اللِّسَانِ بِخِلاَفِ مَافِي الْقَلْبِ كَأَنْ نَوَى الظُّهْرَ بِقَلْبِهِ وَسَبَقَ لِسَنُهُ اِلَى غَيْرِهِ
Mengucapkan niat dengan lisan tidak wajib, akan tetapi disunnahkan, tujuannya adalah agar menggampangkan pada hati. Dan juga mengucapkan niat dengan lisan tidak dianggap (tidak mempengerahui sah dan tidaknya shalat) apabila seseorang hanya lisannya yang mengucapkan niat sedangkan hatinya tidak, maka shalatnya tidak sah. Berbeda dengan niat di dalam hati maka (dianggap mempengaruhi sah dan tidaknya shalat) seperti orang berniat di dalam hatinya untuk shalat dzuhur sedangkan lisannya mengucapkan niat selain shalat dzuhur, maka yang dianggap adalah niat yang di dalam hati yaitu shalat dzuhur.
وَيَجِبُ قَرْنُ النِّيَّةِ بِتَكْبِيْرَةِ التَّحَرُّمِ لاِنَّهاَ اَوَّلُ وَاجِبَاتِ الصَّلاَتِ
Niat wajib bersamaan dengan takbiratul ihram karena sesungguhnya niat adalah awal dari wajibnya shalat.
Ada tiga katagori niat, diantaranya adalah sebagai berikut:
اِنْ كَانَتِ الصَّلاَةُ فَرْضاً اَيْ وَلَوْ فَرْضَ كِفَايَةٍ كَصَلاَةِ الْجَنَازَةِ اَوْقَضاَءً كَالفَائِتَةِ وَمُعَادَةً نَظَرًا لِأَصْلِهَا اَوْنَذْرًا وَجَبَ فِيْهِ  ثَلاَثَةُ اَشْياَءَ
Apabila ada shalat fardhu walaupun shat fardhu kifayah seperti shalat jenazah, shalat yang terlewati waktunya (qadaan), shalat yang diulangi, dan shalat nadir maka wajib berniat dengan tiga hal.
-          Wajib berniat
قَصْدُ الْفِعْلِ اَيْ نِيَّةُ فِعْلِ الصَّلاَةِ الَّتِيْ اسْتَحْضَرَهَا لِتَتَمَيَّزَ عَنْ سَائِرِ اْلأَفْعَالِ وَلاَتَجِبُ اْلإِضَافَةُ اِلىَ اللهِ تَعَالَى لِأَنَّ الْعِبَادَةَ لاَتَكَوْنُ اِلاَّ لَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَكِنْ تُسْتَحَبُّ لِيَتَحَقَّقَ مَعْنَى اْلإِخْلاَصِ وَيَسْتَحَبُّ نِيَةُ اسْتِقْباَلِ الْقِبْلَةِ وَعَدَدِ الرَّكَعَاتِ وَلَوْ اَخْطَاءَ فِيْ الْعَدَدِ كَانْ نَوَى الظُّهْرَ ثَلاَثاً اَوْ خَمْساً لَمْ تَنْعَقِدْ صَلاَتُهُ
Melakukan shalat yaitu dengan berniat untuk shalat (أُصَلِّي.....) agar beda dengan pekerjaan yang lain dan tidak wajib dalam niat menyandarkan kepada Allah (لله تَعَالَى) karena tidak satupun ibadah kecuali hanyalah bagi Allah, tetapi disunnahkan menyandarkan kepada Allah dengan menyebut للهِ تََعَالَى  agar nyata arti keikhlasan, dan juga disunnahkan niat menghadap qiblat مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ  dan hitungan rakaat اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ / ثَلاَثَ رَكَعَاتٍ / رَكْعَتَيْنِ apabila keliru di dalam hitungan rakaatnya seperti niat dzuhur tapi 2 atau 5 rakaat maka shalatnya tidak sah.
-          Wajib menentukan shalat yang akan dikerjakan
التَعْيِيْنُ اَيْ مِنْ ظُهْرٍ اَوْ غَيْرِهَا لِتَتَمَيَّزَ عَنْ سَائِرِ الصَّلَوَاتِ
Menentukan shalat yang akan dikerjakan yaitu dengan menyebut dzuhur atau yang lainnya, agar shalat tersebut bisa dibedakan dengan shalat-shalat yang lain
-          Wajib berniat fardhu
الفَرْضِيَّةُ اَي مُلاَحَظَةُ الْفَرْضِيَّةِ وَقَصْدُهَا فَيُلاَحِظُ وَيَقْصِدُكُوْنَ الصَّلاَةِ فَرْضًا لِتَتَمَيَّزَ عَنِ النَّفْلِ
Memperhatikan dan berkeyakinan bahwa adanya shalat adalah shalat fardhu, agar shalat tersebut bisa beda dengan shalat sunnah
Contoh: أُصَلِّي فَرْضَ العَصْرِ dan yang lainnya, itu sudah dianggap cukup kerena sudah memenuhi wajibnya niat di dalam shalat fardhu.

-          Shalat sunnah muaqqat
وَاِنْ كَانَتْ نَافِلَةً مُؤَقَّتَةً كَرَاتِبَةٍ اَوْذاَتَ سَبَبٍ كَاسْتِقَاءٍ وَجَبَ فِيْهَا شَيْآنِ
Apabila ada shalat sunnah muaqqat (yang mengikuti shalat fardhu) seperti shalat sunnah rawatib atau shalat sunnah karena ada sebab seperti shalat istisqa` (minta hujan), maka wajib berniat dengan dua perkara:
اَحَدُهُمَا قَصْدُالْفِعْلِ اَيْ نِيَّةُ فِعْلِ الصَّلاَةِ
Pertama: wajib berniat melakukan shalat yaitu dengan اُصَلِّي....
وَثَانِيْهِماَالتَعِيِيْنُ فَيُعَيِّنُ قَبْلِيَّةً وَبَعْدِيَّةً فِيْ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَالمَغْرِبِ وَالعِشَاءِ لِأَنَّ لِكُلِّ قَبْلِيَّةً وَبَعْدِيَّةً بِخِلاَفِ سُنَّةِ الصُّبْحِ وَالعَصْرِ وَفِطْراً وَاَضْحَى فِيْ العِيْدِ فَلاَ يَكْفِيْ سُنَّةَ عِيْدٍ فَقَطْ وَشَمْساً وَقَمَراً فِيْ الكُسُوْفِ
Kedua: wajib menetukan shalat yang akan dikerjakan, maka seseorang harus menentukan qabliyah dan ba`diyah di dalam shalat dzuhur, maghrib, isya` karena setiap shalat dzuhur, maghrib dan isaya` ada qabliyah dan ba`diyahnya. Berbeda dengan shalat sunnah subuh dan ashar. Dan juga wajib menentukannya pada shalat idhul fitri dan idhul adha, maka tidak cukup hanya berniat shalat `idn tanpa menyebutkan fitri dan adanya. Begitu juga wajib menentukan pada shalat gerhana matahari dan bulan.
Dapat diambil kesimpulan bahwa اُصَلِّي الظُّهْرَ قَبْلِيَةً  atau أُصَلِّي المَغْرِبَ بَعْدِيَةً  atau اُصَلِّي لِعِيْدِ الفِطْرِ  atau أُصَلِّي لِخُسُوْفِ القَمَرِ dan seterusnya, sudah dianggap cukup karena memenuhi wajibnya niat di dalam shalat sunnah muaqqat (yang diwaktuhi) dan shalat sunnah yang mempunyai sebab.
وَاِنْ كَانَتْ ناَفِيْلَةً مُطْلَقَةً وَهِيَ الَّتِيْ لَمْ تُقَيِّدْ بِوَقْتٍ وَلاَسَبَبٍ وَجَبَ قَصْدُ اْلفِعْلِ فَقَطْ
Ketiga: Shalat sunnah mutlaq yang tidak diqayyiti dengan waktu dan sebab seperti tahiyyatul masjid, sunnah wudhu`, isikharah, sunnah mandi, masuk rumah, keluar rumah dan sebagainya. Maka hanya wajib berniat melakukan shalat (اُصَلِّي)
Niat Shalat Fardhu dan Jum`at:
Shalat sybuh:
اُصَلِّي فَرْضَ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً مَأْمُوْمًا / اِمَامًا للهِ تَعَلَى
Shalat Dzuhur:
اُصَلِّي فَرْضَ الظُّهْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً مَأْمُوْمًا / اِمَامًا للهِ تَعَلَى
Shalat Ashar:
اُصَلِّي فَرْضَ الْعَصْرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً مَأْمُوْمًا / اِمَامًا للهِ تَعَلَى
Shalat Maghrib:
اُصَلِّي فَرْضَ الْمَغْرِبِ ثَلاَثَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً مَأْمُوْمًا / اِمَامًا للهِ تَعَلَى
Shalat Isya`:
اُصَلِّي فَرْضَ الْعِشَاءِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً مَأْمُوْمًا / اِمَامًا للهِ تَعَلَى
Shalat Jum`at:
اُصَلِّي فَرْضَ الْجُمْعَةِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً مَأْمُوْمًا / اِمَامًا للهِ تَعَلَى

2.      Takbiratul ihram (تَكْبِيْرَةُ الْإِحْرَامِ)
Rukun shalat yang kedua adalah takbiratul ihram ialah اللهُ اَكْبَر sedangkan kalau memakai dhamir seperti اللهَ هُوَ اَكْبَرُ atau memakai nida` يَارَحِيْمُ اَكْبَرُ dan          اَللهُ يَا اَكْبَرُ maka semuanya membatalkan shalat.

Adapun hikmah shalat dimualai dengan takbir adalah memulai shalat dengan mensucikan dan mengagungkan Allah sertaa mensifatinya dengan sifat-sifat kesempurnaan, maka orang yang shalat akan penuh ketakutan karena berdiri dihadapan Allah sehingga hatinya hadir dan khusu`.
Sedangkan Syarat takbiratul ihram ada 16
a.       Takbiratul ihram terjadi dalam keadaan berdiri di dalam shalat fardu
اَنْ تَقَعَ حَالَةُ القِيَامِ فِيْ الْفَرْضِ
b.      Berbahasa arab bagi yang mampu berbahasa arab
اَنْ تَكُوْنَ بِالْعَرَبِيَّةِ لِلْقَادِرِ عَلَيْهَا
c.       Dengan lafal اَللهُ
اَنْ تَكُوْنَ بِلَفْظِ الْجَلاَلَةِ فَلاَ يَصِحُّ الرَّحْمَنُ اَكْبَرُ لِعَدَمِ لَفْظِ الْجَلاَلَةِ
Takbiratul ihram harus dengan lafal اَللهُ tidak sah dengan lafal الرَّحْمَنُ اَكْبَرُ karena tidak memakai lafal اَللهُ
d.      Dengan lafal اَكْبَر
Maka lafal اَللهُ كَبِيْرٌ tidak sah karena mentiadakan ta`dzim
كَوْنُهَا بِلَفْظِ اَكْبَرُ فَلاَ يَكْفِيْ اللهُ كَبِيْرٌ لِفَوَاتِ التَّعْظِيْمِ
e.       Berurutan
التَرْتِيْبُ بَيْنَ اللَّفْظَيْنِ فَلاَ يَكْفِيْ اَكْبَرُ اللهُ
Pengucapan takbiratul ihram harus berurutan antara lafal الله dan اَكْبَرُ, maka tidak sah kalau  dengan lafal اَكْبَرُ اللهُ
f.       Tidak memanjangkan hamzah pada lafal اللهُ
وَالسَّادِسُ اَنْ لاَيَمُدَّ هَمْزَةَ الْجَلاَلَةِ فَإِنْ مَدَّهَا فَلاَ تَنْعَقِدُ صَلاَتُهُ
Tidak memanjangkan terhadap hamzah lafal اللهُ, apabila memanjangkan, maka shalatnya tidak sah
g.      Tidak memanjangkan lafal اَكْبَرُ
وَالسَّبِعُ عَدَمُ مَدِّ بَاءِ اَكْبَرُ فَلَوْ قَالَ اَلله ُ اَكْبَرُ لَمْ تَنْعَقِدْ صَلاَتُهُ
Tidak memanjangkan lafal اَكْبَرُ apabila seseorang membacanya dengan lafal اَللهُ اَكْبَارُ maka shalatnya tidak sah.
h.      Tidak mentasydidkan huruf "Ba`"
وَالثَّامِنُ اَنْ لاَيُشَدِّدَ الْباَءَ فَلَوْ شَدَّدَ بِاَنْ قَالَ اَلله ُ اَكَبَّرَ لَمْ تَنْعَقِدْ صَلاَتُهُ
Tidak mentasydidkan huruf Ba` pada lafal اَكْبَرُ apabila mentasydidkan maka shalatnya tidak sah.
i.        Tidak menambah huruf wawu mati atau wawu berharkat pada lafat اَلله ُ dan اَكْبَرُ
Tidak boleh menambahkan huruf wawu mati atau wawu berharkat pada lafal اَلله ُ dan اَكْبَرُ seperti lafal اللاَّ هُوْ اَكْبَرُ dengan wawu mati dan              اللاَّ هُوَ اَكْبَرُ, maka shalatnya tidak sah
j.        Tidak menambah huruf wawu pada lafal اَلله ُ
وَالعَاشِرُ اَنْ لاَيَزِيْدَ وَاوًا قَبْلَ الْجَلاَلَةِ فَإِنْ زَادَهَا بَأَنْ يَقُوْلَ وَالله ُ اَكْبَرُ فَلاَ تَنْعَقِدُ صَلاَتُهُ
Tidak menambah huruf wawu pada lafat اَلله ُ seperti lafal وَالله ُ اَكْبَرُ kalau menambahkan, maka shalatnya tidak sah



k.      Tidak boleh berhenti diantara dua kalimat takbir.
وَالْحاَدِىَ عَشَرَ اَنْ لاَ يَقِيْفَ بَيْنَ كَلِمَتَىِ التَّكْبِيْرِ وَقْفَةً طَوِيْلَةً وَلاَ قَصِيْرَةً وَلاَ يَضُرُّالْفَصْلُ بَيْنَهُمَا بِأَدَاةِ التَّعْرِيْفِ وَلاَ بِوَصْفٍ لَمْ يَطُلْ كَاَللهُ الأَكْبَرُ اَوِاللهُ الْجَلِيْلُ اَكْبَرُ اَوِاللهُ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اَكْبَرُ بِخِلاَفِ مَالَوْ طَال الْوَصْفُ بِاَنْ كاَنَ ثَلاَثاً فَاَكْثَرَ كَاَللهُ الْجَلِيْلُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ اَكْبَرُ اَوِالله ُ الَّذِيْ لاَاِلَهَ اِلاَّ هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ اَكْبَرُ وَبِخِلاَفِ الْوَصْفِ كاَالضَّمِيْرِ فِيْ قَوْلِهِ الله ُ هُوَاَكْبَرُ اَوِالنِّدَاءِ فِيْ قَوْلِهِ الله ُيَارَحْمَنُ اَكْبَرُ وَالْمُرَادُ بِالصِّفَةِ الصِّفَةُ الْمَعْنَوِيَّةُ لاَصِفَةٌ نَحْوِيَّةٌ فَتَشْمَلُ نَحْوَ عَزَّ وَجَلَّ فَإنَّهُمّا صِفَتَانِ فِيْ الْمَعْنَى دُوْنَ اللَّفْظِ لأَِنَّ عَزَّوَجَلَّ مِنْ قَوْلِنَا الله ُعَزَّوَجَلَّ اَكْبَرُحَالٌ فَيَصِحُّ ذَلِكَ بِخِلاَفِ مَلَوْ قَالَ الله ُ جَلِيْلُ اَكْبَرُ بِتَنْكِيْرِ جَلِيْلٍ فَإِنَّهُ لاَيَصِحُّ لأَِنَّهُ حِيْنَئِذٍ لَيْسَ صِفَةً وَاَمَّا لَوْقَالَ جَلِيْلٌ الله ُاَكْبَرُ فَلاَ يَضُرُّ لأَِنَّهُ لَمْ يَدْخُلْ فِي الصَّلاَةِ
Seseorang tidak boleh berhenti diantara dua kalimat takbir dengan berhenti yang lama atau sebentar. Tidak apa-apa (tetap sah) pisahnya antara dua kalimat takbir dengan adat ta`rif (اَلْ) dan juga dengan sifat yang tidak panjang seperti الله الأَكْبَرُ atau اللهُ الجَلِيْلُ اَكْبَرُ atau اللهُ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اَكْبَرُ beda (tidak sah) kalau pisahnya dengan sifat yang panjang yaitu tiga sifat dan lebih seperti اللهُ الجَلِيْلُ العَظِيْمُ الحَلِيْمُ اَكْبَرُ atau اللهُ الَّذِيْ لاَاِلَه اِلاَّ هُوَ المَلِكُ القُدَُسُ اَكْبَرُ dan juga tidak sah memakai sifat dhamir seperti اللهُ هُوَ اَكْبَرُ atau memakai nida` seperti اللهُ يَا رَحْمَنْ اَكَبَرُ.
Adapun yang dikehendaki sifat di atas adalah sifat maknawiyah bukan sifat nahwiyah. Maka sifat maknawiyah bisa mencakup pada lafal عَزََوَجَلَّ maka sesungguhnya عَزََوَجَلَّ dua sifat di dalam makna bukan lafal karena sesungguhnya lafal اللهُ عَزََوَجَلَّ اَكْبَرُ itu jadi hal, maka hukumnya sah.
Beda kalau lafal جَلِيْلٌ dinakirakan seperti اللهُ جَلِيْلُ اَكْبَرُ maka tidak sah karena lafal جَلِيْلُ bukan sifat, sedangkan mengucapkan جَلِيْلُ اللهُ اَكْبَرُ adalah sah karena lafal جَلِيلُ tidak termasuk dalam shalat.
l.        Seseorang harus mendengar semua huruf-huruf takbiratul ihramnya.
وَالثَّانِيَ عَشَرَ اَنْ يُسْمَعَ نَفْسَهُ جَمِيْعَ حُرُوفِهاَ اِذَا كَانَ صَحِيْحَ السَّمْعِ وَلاَمَنِعَ مِنْ لَغَطٍ وَغَيْرِهِ وَاِلاَّ فَيَرْفَعُ صَوتَهُ قَدْرَ الرَّفْعِ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ لَوْلَمْيَكُنْ اَصَمَّ.
Seseorang agar mendengar akan semua huruf-huruf takbiratul ihramnya. Apabila pendengarannya normal dan tidak ada sesuatu yang mencegah seperti dalam keadaan ramai dan sesamanya. Apabila dalam keadaan ramai maka agar suaranya dikeraskan sebatas didengar dirinya sendiri dan adanya orang tersebut tidak tuli
وَجِبُ عَلَى مَنْ طَرَأَ خَرَسُهُ تَحْرِيْقُ لِسَانِهِ وَشَفَتَيْهِ وَلَهَاتِهِ بِالتَّكْبِيْرِ وَغَيْرِهِ كَالتَّشَهُّدِ وَالسَّلاَمِ وَسَائِرِ الأَذْكَارِ اَمَّا مَنْ خَرَسُهُ اَصْلِيٌّ فَلاَيَجِبُ عََلَيْهِ ذَلِكَ
Wajib bagi orang yang baru bisu yaitu menggerak-gerakkan lisan, bibir dan anak lidahnya ketika takbiratul ihram dan lainnya. Seperti tasyahud, salam dan semua bacaan di dalam shalat.
Sedangkan bagi orang yang bisu sejak lahir, maka tidak wajib menggerakkan lisan, kedua bibir dan anak lidahnya.
m.    Masuk waktu shalat
دُخُلُ الوَقْتِ فِيْ المُؤَقَّتِ سَوَاءٌ كَانَ فَرْضًا اَوْ نَفْلاً وَكَذَا ذُوالسَّبَبِ
Takbiratul ihram dilakukan apabila sudah masuk waktu shalat (shalat yang diwaktui) baik shalat fardhu, shalat sunah dan shalat karena adanya sebab.
n.      Menghadap kiblat
اِيْقَاعُهاَ حَالَ اْلإِسْتِقْبَالِ
Melaksanakan takbiratul ihram dalam keadaan menghadap kiblat

o.      Tidak mengubah huruf
اَنْ لاَ يُخِلَّ اَى يُفْسِدَ بِحَرْفٍ مِنْ حُرُوْفِهَا وَيُغْتَفَرُ فِيْ حَقِّ العَامِّيِّ اِبْدَالُ هَمْزَةِ اَكْبَرُ وَاوًا اَفَادَهُ الشَّرْقَاوِيُّ وَكَذَاالبَاجُرِيُّ وَلَوْلَمْ يَجْزِمِ الرَّاءَ مِنْ اَكْبَرِ اَفَادَهُ البَجُوْرِيُّ
Seseorang tidak merusak suatu huruf dari beberapa huruf takbiratul ihram. Dan diampuni (tetap sah) bagi orang yang bodoh yaitu mengganti lafal hamzah (اَكْبَرْ) dengan wawu (وَكْبَرْ). Menurut imam Syarqawi dan iman Bajuri  memberi fatwa bahwa tetap sah walaupun tidak menjazemkan ra`nya lafal اَكْبَرَ
p.      Makmum mengakhirkan takbir daripada imam
تَأْخِيْرُ تَكْبِيْرَةِ الْمَأْمُوْمِ عَنْ تَكْبِيْرَةِ الإِيْمَامِ فَلَوْ قَارَنَهُ فِيْ جُزْءٍ مِنْهَا لَمْ تَصِحَّ القُدْوَةُ وَلاَ تَنْعَقِدُ صَلاَتُهُ
Makmum mengakhirkan takbiratul ihramnya dari takbiratul ihram imam, kalau bersamaan maka shalat makmum tidak sah.
قَالَ الشَّبْرَامُلِّسِيُّ وَيُسْتَحَبُّ اَنْ يَمُدَّ التَّكْبِيْرَ وَيَشْتَرَطُ اَنْ لاَ يَمُدَّ فَوْقَ سَبْعِ اَلِفَاتٍ وَاِلاَّ بَطَلَتْ اِن عَلِمَ وَتَعَمَّدَ
Imam Sibra Mulisi Berkata: Disunnahkan memanjakan takbiratul ihram dan disyaratkan tidak memanjangkan lebih dari tujuh alif (setiap alif dua harakat). Apabila lebih, maka shalatnya batal kalau memang ia tahu dan sengaja.
3.      Berdiri bagi orang yang mampu
الثَّالِثُ القِيَامُ عَلَى القَدِرِ فِي الفَرْضِ هُوَ نَصْبُ فَقَرِظَهْرِهِ
Rukun shalat yang ketiga adalah berdiri bagi orang yang mampu di dalam shat fardhu. Adapun berdiri adalah menegakkan tulang punggungnya.
وَالأَصْلُ فِي وُجُوْبِ القِيَامِ قَوْلُهُ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعِمرَانَ بنِ حُصَيْنٍ وَكَانَتْ بِهِ بَوَاسِيْرُ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِيْعْ فَعَلَى جَنْبٍ رَوَى هَذِهِ الأَحْوَالَ الثَّلاَثَةَ البُخَارِيُّ زَادَ النَّسَائِ الحَالَةَ الرَّبِعَةَ وَهُوَ فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِيعْ فَمُسْتَلْقِيًا لاَيُكَلِّفُ الله ُ نَفْسًا اِلاَّ وُسْعَهَا
Adapun yang dimaksud berdiri Rasulullah bersabda kepada Imran Husain yang mana Imran sedang sakit bawasir beliau bersabda: sembahyanglah berdiri, kalau tidak mampu sembahyanglah duduk, dan kalau masih tidak mampu sembahyanglah berbating, dan kalau masih tidak ampu pula maka sembahyanglah telentang. Allah tidak memberatkan seseorang melainkan semampunya                        (HR. Bukhari dan Nasa`i)
لَوْطَرَأَ العَجْزُ فِي اثْنَاءِ الصَّلاَةِ اَتَى بِمَقْعَدُوْرِهِ كَماَ لَوْطَرَأَتِ القُدْرَةُ فِي اَثْنَائِهَا فَإِنَّهُ يَأْتِى بِمَقْعَدُوْرِهِ
Kalau tiba-tiba tidak mampu berdiri pada waktu melakukan shalat, maka mengerjakan menurut kemampuannya seperti mampu berdiri dengan tiba-tiba pada waktu melakukan shalat, maka ia juga mengerjakan menurut kemampuannya.
وَتَجِبُ القِرَأَةُ فِي هُوِيِّ العَاجِزِ لأَِنَّهُ اَكْمَلُ مِمَّا بَعْدَهُ بِخِلاَفِ نُهُوْضِ القَدِرِ فَلاَ تُجْزِئُهُ القِرَأَةُ فِيْهِ لِقُدْرَتِهِ عَلَيْهَا فِيْمَا هُوَ اَكْمَلُ مِنْهُ فَلَوْ قَرَأَ فِيْهِ شَيْأً اَعَادَهُ
Membaca fatihah wajib bagi orang yang tidak mampu berdiri dikala ia sedang turun. Karena dikala sedang turun adalah lebih sempurna daripada tingkah sesudah turun. Berbeda dengan bangunnya orang yang mampu berdiri maka tidak cukup membaca fatihah dikala sendang bangun karena mampunya berdiri atas membaca fatihah dalam keadaan berdiri. Adapun membaca fatihah katika sudah berdiri, itu lebih sempurna daripada membaca fatihah ketika sudah berdiri,itu apabila orang yang mampu berdiri membaca sebagian fatihah dikala bangun maka harus mengulangi bacaannya.
وَلَوْقَدَرَ عَلَى القِياَمِ بَعْدَالقِرَأَةِ وَجَبَ قِيَامٌ بَلاَ طُمَأْنِيْنَةٍ لِيَرْكَعَ مِنْهُ وَاِنَّمَا لَمْ تَجِبِ الطُّمَأْنِيْنَةُ لأَِنَّهُ غَيْرُ مَقْصُوْدٍ بِنَفْسِهِ  وَاِنْ قَدَرَ عَلَيْهِ فِيْ الرُّكُوْعِ قَبْلَ الطُّمَأْنِيْنَةِ انْتَصَبَ اِلَى حَدِّالرُّكُوْعِ لِيَطْمَئِنَّ فَإِنِ اتَصَبَ ثُمَّ رَكَعَ عَمِداً عَالِمًا بَطَلَتْ صَلاَتُهُ اَوْبَعْدَ الطُّمَأْنِيْنَةِ فَقَدْ تَمَّ رُكُوْعُهُ
Apabila seseorang mampu berdiri dikala rukuk sebelum tumakninah maka ia berdiri hingga batas rukuk agar ia tumakninah. Sedangkan apabila ia berdiri kemudian rukuk dengan sengaja serta pandai, maka shalatnya batal, atau seseorang mampu berdiri dikala rukuk sesudah tumakninah maka ia menyempurnakan rukuknya.
وَلَوْ قَدَرَ عَلَيْهِ فِي الاِعْتِدَالِ قَبْلَ الطُّمَأْنِيْنَةِ قَامَ وَاطْمَأَنَّ وَكَذَا بَعْدَهَا اِنْ اَرَادَ قُنُوْتًا فِي مَحَلِّهِ وَهُوَ اِعْتِدَالُ الرَكْعَةِ الأَخِيْرَةِ مِنَ الصُّبْحِ وَاِلاَّ فَيَجُوْزُ القِيَامُ فَإِنْ قَنَتَ قَاعِدًا عاَمِدًا عَلِمًا بَطَلَتْ صَلاَتُهُ لأَِنَّهُ اَحَدَثَ جُلُوسًا لِلْقُنُوتِ مَعَ القُدْرَةِ عَلَى القِيَامِ هَذَا اِذَا طَالَ جُلُوْسُهُ فَلاَ يَـضُرُّ
Apabila seseorang mampu berdiri ketika i`tidal sebelum tuma`ninah maka ia berdiri dan melakukan tumakninah, dan juga seperti melakukan tumakninah, apabila seseorang mampu berdiri sesudah tumakninah maka tetap melakukan tumakninah, kalau ia menghendaki membaca qunut di dalam i`tidal rakaat akhir shalat subuh. Apabila tidak menghendaki membaca qunut maka boleh berdiri.
Jika seseorang membaca qunut dikala duduk dengan sengaja serta ia tahu maka shalatnya batal karena sesungguhnya ia telah melakukan dalam sikap duduk untuk membaca qunut padahal ia mampu bediri. Adapun kebatalan ini apabila duduknya lama, maka tidak batal shalatnya.
وَخَرَجَ بـِالفَرْضِ النَـفْلُ فَلِلْـقَادِرِ عَلَى القِيَامِ فِعْلُهُ قَاعِدً اَوْ مَضْطـجِعًأ لَكِنْ اِذَا صَلَّى مُضْطَجِعًا وَجَبَ اَنْ يَـأتِيَ بِرُكُوْعِهِ وَسُجُودِهِ تَامَّيْنِ بِأَنْ يَقْعُدَ لَهُمَا وَلاَ يُوْمِئَ بِهِمَا لِعَدَمِ وُرُوْدِهِ وَاَمَّا اِذَاتَنَفَّلَ مُسْتَلْقِيًا مَعَ اِمْكَـانِ الإِضْتِجَاعِ لَمْ يَصِحَّ وَاِن اَتَمَّ الرُّكُوْعَ وَالسُّجُوْدَ لِعَدَمِ وُرُوْدِهِ ثُمَّ اَعْلَمْ اَنَّ القِيَامَ اَفْضَلُ الأَرْكَانِ ثُمَّ السُّجُوْدَ ثُمَّ الرُكُوعَ  ثُمَّ الإِعْتِدَالَ فَالتَّطْوِيْلُ فِي القِيَامِ اَفْضَلُ ثُمَّ فِيْ الإِعْتِدَالِ
Berbeda dengan shalat fardhu yaitu shalat sunnah maka boleh bagi orang yang mampu berdiri, malakukan shalat sunnah dalam keadaan duduk atau berbaring. Akan tetapi apabila seseorang shalat dalam keadaan berbaring maka wajib melakukan rukuk dan sujudnya dengan sempurna yaitu dalam keadaan duduk dan tidak boleh isyarah ketika rukuk dan sujud karena ketiadaan sampainya isyarah.
Sedangkan tatkala seseorang shalat sunah dalam keadaan telentang serta mampuya ia shalat berbaring maka tidak sah shalatnya walaupun ia menyempurnakan rukuk dan sujudnya. Karena ketidak adaan sampainya telentang.
Ketahuilah sesungguhnya berdiri itu lebih utamanya rukun shalat. Kemudian sujud rukuk dan iktidal adapun memanjangkan shalat dikala berdiri itu lebih utama kemudian di dalam sujud, di dalam rukuk dan di dalam iktidal
Rasulullah SAW. Bersabda :
قَـالَ النَّبِي صَلىَ الله عَلَيْهِ وَسَلَّم : مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ اَفْضَلُ وَمَن صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ اَجْرِ القَائِمِ وَمَنْ صَلَى نَـائِمًا فَلَهُ نِصْفُ اَجْرِ القَاعِدِ
Barang siapa shalat berdiri akan mendapat pahala yang sempurna, barang siapa shalat duduk akan mendapat seperdua pahala orang yang shalat berdiri dan barang siapa shalat dengan tidur/terbaring akan mendapat seperdua dari pahala shalat duduk. (HR. Bukhari)
Pahala dengan duduk dan tidur dalam shalat sunnah lebih sedikit pahalanya dari pada shalat sunnah dalam keadaan berdiri. Apabila dilakukan ketika mampu berdiri, tetapi apabila dilakukan dalam keadaan berhalangan pahalanya akan sama dengan shalat dalam keadaan berdiri
Imam Muhammad Ali Turmudzi berkata bahwa shalat adalah tiang agama dan sesuatu yang pertma kali diwajibkan oleh Allah kepada orang islam. Di dalam shalat Allah menghadap kepada hambanya agar hambanya juga menghadap kepada Allah dalam bentuk kehambaannya dengan menampakkan rasa hina, pasrah, menyerah, rendah diri, tunduk, rasa cinta dan mengambil muka, jadi berdiri merupakan simbol rasa hina, takbir adalah kepasrahan, tsanak dan tilawah adalah penyerahan, rukuk simbol dari rendah diri, sujud adalah rasa tunduk, duduk adalah rasa cinta dan tasyahud sebagai simbol mengambil muka. Maka hendaklah hamba menghadap kepada Allah dengan bentuk kehambaan tersebut agar Allah menghadap kepada mereka dengan menaruh kasih sayang, iba, menerima, murah dan dekat. Jadi urusan agama yang paling besar adalah shalat.
4.      Membaca Surah Fatihah
الرَّابِعُ قِرَأَةُ الفَتِحَةِ
5.      S
6.      S
7.      S
8.      S
9.      S
10.  S
11.  S
12.  S
13.  S
14.   
q.        D
r.          D
s.         D
t.          D
u.        D
v.        D
w.      DD
DD