Powered By Blogger

Sabtu, 26 Maret 2011

tesis


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tidak bisa dipungkiri bahwa di Indonesia adalah pusat kajian Islam, salah satunya di pesantren-pesantren. Maka kemajuan dunia pesantren harus terus diupayakan agar kajian-kajian keagamaan, baik itu berupa pengajian, pendidikan, majlis taklim, majlis dzikir ataupun bentuk lainnya terus berlangsung dan semakin meningkat kwalitasnya
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga ini layak diperhitungkan dalam pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan, dan moral.
Dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya
Dia muncul jauh sebelum lahirnya negara Indonesia dan merupakan lembaga pendidikan Islam terutama di nusantara ini,[1] Walaupun tidak diketahui secara pasti sejak kapan munculnya pesantren, namun para sejarawan hampir saja sepakat menyatakan pesantren muncul sekitar akhir abad ke-18 dan banyak berdiri di rentang abad ke-19,[2] jauh sebelum lahirnya Negara Indonesia, dan bahkan sebelum munculnya organisasi massa Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Spirit didirikannya pesantren saat itu lebih dikarenakan sebagai upaya pembebasan dari belenggu keterbelakangan pendidikan dan sosial ekonomi sekaligus juga dakwah untuk mensyi`arkan agama Islam.
Penyiar (Messionaris) dakwah Islam itu adalah Walisongo sekitar abad  ke-13 M.[3] Mereka melakukan metode pendekatan dakwah Islam dengan cara beragam, ada yang membangun koneksi lewat jalur perdagangan, yang lebih lanjut kemudian jaringan itu dimanfaatkan untuk menyebarkan agama Islam. Ada pula yang melakukan pendekatan dengan cara menikahi wanita keturunan pribumi asli.[4] Hebatnya lagi strategi dakwah yang dilakukan Walisongo, mampu mengadaptasikan nilai-nilai Islam dengan khazanah kebudayaan nenek moyang Indonesia pra-Islam.[5]
Contoh yang bisa diketengahkan adalah pembelajaran dengan model pesantren. Sebenarnya hal itu sudah ada pada masa Hindu. Hanya waktu itu umat Hindu lebih mengenal dengan sebutan Mandala. Mandala adalah sebuah asrama bagi para pertapa atau pelajar dari agama Siwa yang terletak di tengah-tengah hutan yang dipimpin oleh Dewa Guru.[6] Jadi pesantren oleh banyak kalangan dipandang sebagai kelanjutan dari bentuk Mandala pada masa Hindu.
Sekitar tahun 1910–1940 pesantren diharapkan pada masa dimana harus berjuang untuk merebut kemerdekaan, pesantren tampil sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pesantren-pesantren muncul pada masa ini banyak bertebaran di kampung-kampung dan merupakan respons atas hegemoni kolonial yang tiak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mendapatkan hak-hak dasarnya, antara lain pendidikan. Anti kolonialisme ini membangkitkan pertumbuhan pendidikan agama di bawah kepemimpinan dan bimbingan pesantren dan secara konsisten para kyai kampung melakukan konfirmasi budaya dengan kaum penjajah saat ini.[7]
Di awal Indonesia merdeka, masyarakat pesantren belum sepenuhnya terbebas dari semangat konfrontasi dengan budaya Barat, karena penyelenggaraan hidup berbangsa oleh pemeritah Indonesia belum bisa mengganti sistem Belanda yang telah mapan, termasuk sistem pendidikan. Setelah resmi terbentuk Departemen Agama (sekarang menjadi kementerian agama) pada 3 Januari 1946,[8] lembaga ini secara intensif  memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Secara lebih spesifik, usaha ini ditangani oleh suatu bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan agama untuk mengusahakan terbentuknya suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional. Walhasil ada tiga jenjang pendidikan formal yang diberlakukan pemerintah, diantaranya Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah Pertama, dan Madrasah Tsanawiyah Atas.[9]
Pengembangan dunia pesantren ini harus didukung secara serius oleh pemerintah yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun pendidikan.
Dalam eksistensinya, pesantren pada umumnya bersifat mandiri dan tidak tergantung pada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Dengan sifat kemandiriannya inilah pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Pesantren pun tidak mudah disusupi oleh aliran atau paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Pada masa orde baru, bersama dengan dinamika politik dimana pemerintah membutuhkan dukungan masyarakat pesantren, mulailah terjadi interaksi sosial antara pemerintah dan pesantren. Pemerintah sedikit menaruh perhatian kepada dunia pesantren, dan masyarakat pesantren-pun memanfaatkannya dengan berusaha memperoleh hak pembiayaan dari Anggaran Belanja Negara (ABN). Pada tahun 1980-an, orientasi peran sosial pesantren makin jelas yaitu melakukan pemberdayaan kepada masyarakat.
Dinamika pesantren mengalami pasang surut seiring dengan perubahan lokal, nasional maupun global. Di akhir orde baru, pesantren memainkan peran penting dalam penguatan masyarakat sipil, melalui jaringan alumninya. Peta jaringan pesantren sangat beragam, pendirian OPRNOP (Organisasi Non Pemerintah) yang berafiliasi secara langsung atau tidak, pesantren dengan komunitas-minoritas lokal, penguatan gender dan memperluas gagasan pluralisme, jaringan membentuk komunitas politik, dan kerja-kerja sosial bersama komunitas petani, buruh dan  nelayan.
Sementara di era terkini, era dimana perkembangan teknologi dan globalisasi makin mengemuka, keberadaan pesantren juga mampu mengikuti trend aktual perkembangan zaman. Pesantren sudah mampu berdiri sejajar dengan lembaga formal umum negeri milik pemerintah. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyak tampilan para alumnus pesantren di tengah masyarakat sebagai pembawa obor dan penegak laju pembangunan. Mereka tampil dalam berbagai panggung baik sebagai tokoh agama, da`i, akademisi, penguasa hingga politisi.[10]
Diskripsi dinamika perjalanan pesantren sejak sebelum kemerdekaan hingga sekarang, tidak bisa digeneralisasi bahwa setiap pesantren bisa berbuat seperti itu. Ternyata ada sebagian kecil dari pesantren yang ada saat ini, masih belum terberdaya dan hingga sekarang menganut sistem lama, dalam banyak hal, semisal fasilitas dan kurikulum yang diberlakukan.
Sedikitnya ada tiga unsur utama penopang eksis dan tidaknya pesantren dalam pendidikan, yaitu kiai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri, kurikulum pondok pesantren, dan sarana peribadatan serta pendidikan, seperti masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, dan bengkel-bengkel keterampilan.
Unsur-unsur tersebut mewujud dalam bentuk kegiatannya yang terangkum dalam Tridharma Pondok Pesantren, yaitu pembinaan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, pengembangan keilmuan dan keahlian yang bermanfaat, serta pengabdian pada agama, masyarakat, dan negara.
Dilihat lebih jauh, sesuai dengan perkembangan pesantren masa kini mempunyai ragam model dan tipologi sendiri yang satu dengan yang lain tidak sama. Banyak tokoh mengklasifikasikannya menjadi tiga macam, diantaranya :
1.      Pesantren Tradisional (Salaf),
Pesantren Tradisional ini mempunyai mempunyai pilar-pilar utama seperti kyai, santri, pondok dan masjid. Kiai menjadi figur sentral di pesantren seperti ini. Adapun fokus kegiatan di pesantren tradisional adalah pengajaran agama. Sebab itu, para santri diwajibkan menguasai kitab kuning (kitab klasik Islam).
2.      Pesantren Modern (Khalaf)
Pesantren Modern secara umum dilihat dari pola kepemimpinan yang kolektif, kurikulum berbasis bahasa Arab modern dan Inggris, sistem kelas (bukan bandongan), kitab kuning tidak diajarkan atau bukan bahan ajar utama. Pesantren modern dapat dapat dipilah lagi menjadi, modern plus modifikasi dan modern-tradisionalis.
3.      Pesantren Semi-Modern (Semi-Salafi)
Setiap pesantren selalu mempunyai ciri khas tertentu yang membedakannya dengan pesantren-pesantren yang lain.
Bahkan dekade terakhir ini, sebagian tokoh ada yang membagi tipologi pesantren menjadi empat macam, diantaranya :
1.      Pesantren yang tetap konsisten seperti zaman dulu, disebut salafi.
2.      Pesantren yang memadukan sistem lama dengan sistem pendidikan sekolah, disebut, pesantren modern.
3.      Pesantren yang sebenarnya hanya sekolah biasa, tetapi siswanya diasramakan 24 jam
4.      Pesantren yang tidak mengajarkan ilmu agama, karena semangat keagamaan sudah dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan kehidupan sehari-hari di asrama.[11]
Spesifikasi kajian ini hanya akan menfokuskan pada tipologi Pesantren yang pertama, yaitu Pesantren Tradisional (salaf), Karena model pesantren ini yang menjadi sasaran pemberdayaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007. Lebih jauh PP dimaksud akan dilihat melalui teori Revitalisasi.                 Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007, lebih jauh PP dimaksud akan dilihat dari teori Revitalisasi. Dalam hal apa saja upaya PP dimaksud akan bisa memberdayakan keberadaan pesantren salaf ke depan?, Kemungkinan wilayah sentuhan yang akan diberdayakan, meliputi orientasi kerja produk lulusannya, kesejahteraan pengelola dan dewan guru-nya, administrasi dan managerial yang digunakan, fasiltitas dan infra struktur sebagai tempat pembelajaran, dan pengakuan masyarakat dan Negara.
B.     Rumusan Masalah
Mengacu kepada latar belakang penelitian ada beberapa hal yang menarik untuk dijadikan fokus kajian tulisan ini lebih jauh, diantaranya :
1.      Apa saja latar belankang dikeluarkannya PP Nomor 55 Tahun 2007 yang berkaitan dengan upaya revitalisasi pendidikan pesantren?
2.      Apa rekomendasi penting dari isi PP 55 tahun 2007?

C.    Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui latar belakang dikeluarkannya PP nomor 55 tahun 2007 yang berkaitan dengan upaya revitalisasi pendidikan Pesantren.
2.      Untuk mengetahui rekomendasi dari isi PP nomor 55 tahun 2007 .

D.    Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang mungkin dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Dengan adanya penelitian ini setidaknya akan dapat membatu pengasuh pesantren salaf, beserta staf pengelola yang lain, termasuk para santrinya dalam rangka mengetahui lebih jauh, apa, bagainama, dan seperti apa sebenarnya isi PP nomor 55 tahun 2007 itu.
2.      Semoga bermanfaat untuk memperlancar agenda pemerintah dalam rangka mensosialisasikan PP nomor 55 tahun 2007 kepada seluruh masyarakat Indonesia, lebih khusus lagi masyarakat dari kalangan pesantren, terutama pesantren-pesantren salam yang berdekatan dengan daerah penulis.
3.      Secara khusus bagi penulis adalah selain syarat untuk menapatkan gelar Master, juga sebagai proses pembelajaran agar makin cakap melakukan penelitian apapun yang lebih pentingdan aktual ke depan.
E.     Definisi Operasional
1.      Revitalsasi
Kata dasar dari revitalisasi yaitu “VITAL”, artinya penting. Kata “RE” sebelum kata “VITAL” bisa diartikan sebagai proses pengulangan, dan atau sikap sadar untuk melakukan upaya atau usaha. Jadi kata “REVITALISASI” itu berarti upaya untuk melakukan perbaikan (pementingan) dari beberapa kekurangan yang ada dan diketahui sebelumnya.
Perbaikan, maksud arti dari revitalisasi biasanya lebih sering digunakan untuk hal-hal yang tidak nampak secaa kasat mata. Seperti paradigma, konsep dan yang lainnya.
Sementara dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi  berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.[12]
2.      Pendidikan
Pendidikan adalah proses yang secara sengaja direncanakan oleh pendidik dan dialami oleh peserta didik dalam bentuk interaksi antara pendidika dan peserta didik di lingkungan pendidikan dan menjalankan materi pendidikan sebagai sarana pembelajaran menuju perbaikan tingkah laku, sikap, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan seperti yang diinginkan pendidik.[13]
Sedangkan Ahmad Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai suatu bimbingan atau pembinaan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju kepribadian yang utama.[14]
Prinsip dari rencana pendidikan itu biasanya dilakukan dengan penuh sadar untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kemampuan dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk terjun di tengah-tengah masyarakat.
3.      Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.[15]
Maksud dari kata “pesantren” di redaksi judul penelitian ini, adalah lebih mengarah kepada pesantren salaf. Atau kata lainnya, bisa juga disebut pesantren tradisional.
Lebih khusus, secara singkat pengertian dari pesantren salaf adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam yang murni sesuai dengan ajaran nabi Muhammad SAW.[16]
4.      PP nomor 55 tahun 2007
Peraturan ini berisi tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Sesuai isi pasal 1 ayat 1 dan 2, yang dimaksud pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, jenis pendidikan.
Dan pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.[17]

F.     Tinjauan Pustaka
Pesantren sebagai pusat agama, ilmu, akhlak, peradaban, budaya, kesederhanaan, kemandirian, dan persaudaraan yang sangat kukuh selalu menarik untuk dikaji. Tidak heran jika banyak karya yang bertebaran seputar pesantren, termasuk penulis sendiri. Ada yang berbentuk artikel, opini, tesis, makalah bahkan buku serta yang lainnya. Beberapa buku yang membahas pesantren secara umum antara lain berjudul : kitab kuning, pesantren dan tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia,[18]
Beberapa karya buku yang cakupan pembahasannya lebih spesifik tentang pendidikan pesantren serta upaya untuk merevitalisasi diantaranya Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren; Kareel A Steenbrink, 1995. Pesantren, Madrasah, Sekolah: pendidikan Islam dalam kurun waktu modern, Said Agil, 1999. Pesantrem masa depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi.
Akan tetapi lebih khusus lagi karya seputar pendidikan pesantren dan PP nomor 55 tahun 2007 dalam bentuk buku, hingga kini masih belum pernah penulis jumpai. Hanya dalam bentuk artikel pernah ditulis oleh KH. Achmad Sadid Jauhari,[19] secara umum dan singkat isi tulisan beliau menggambarkan bahwa marginalisasi pendidikan yang dirasakan masyarakat pesantren sejak dulu itu, disebabkan karena pesantren lebih menjadi korban historis pasca kemerdekaan setelah dijadikannya bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional. Ditambah bahasa asing selain bahasa Arab, terutama bahasa Inggris, sangat berpengaruh di lingkungan ilmiah di negara ini. Maka, mau tidakmau kita rasakan bahwa itu sangat berdampak bagi menyempitnya ruang gerak kiprah alumni pesantren salaf di masyarakat, yang notabene lebih sering menggunakan bahasa Arab. Apalagi setelah munculnya peraturan pemerintah dan undang-undang, khususnya Undang-undang No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, sangat memukul bagi kiprah pengabdian alumni pesantren salaf di bidang pendidikan formal.
Menurutnya barangkali berangkat dari sinilah Departemen Agama (sekarang berubah Kementerian Agama) menyiasati dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 untuk menolong kiprah para alumni pesantren salaf itu memperoleh penyetaraan dengan sekolah formal dalam dampak masyarakat sipil. Untuk itu, memang diperlukan standar kurikulum nasional di pesantren salaf ditambah beberapa mata pelajaran yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat di negeri ini.
Himbauan itu sama seperti disampaikan oleh Dr. Irwan Priyatno, Ketua Komosi X DPR RI. Menurutnya kedepan pesantren harus ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Karena ia menilai pesantren telah memberikan konstribusi nyata dalam melahirkan generasi berkualitas dan mampu menjaga moralitas bangsa.[20]
Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
Untuk semakin memajukan pendidikan pesantren sesuai amanat UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, eksistensi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan harus makin ditingkatkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan harus berniat sungguh-sungguh memberikan ruang dan peran yang lebih luas untuk merevitalisasi dan membangun modernisasi dunia pesantren
Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama harus lebih meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dengan intensif dalam pelaksanaan dan pengelolaan pesantren. Upaya merevitalisasi dan memodernisasi pesantren tentu saja harus sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Paling tidak, hal ini bisa dilakukan melalui beberapa terobosan. Pertama, menghapus dikotomi dan diskriminasi terhadap pendidikan pesantren yang selama ini dipandang sebagai bukan bagian dari sistem pendidikan nasional.
Kedua, diperlukan adanya pola pendidikan dengan terobosan kurikulum terpadu yang memadukan antara pendekatan sains, agama, dan nilai kebangsaan. Dengan begitu, upaya penanaman nilai agama, moral, dan nilai kebangsaan pada anak didik dapat mencapai sasaran pembelajaran.
Ketiga dan yang tak kalah penting lagi adalah upaya peningkatan kualifikasi, profesionalitas dan kesejahteraan guru pesantren sebagaimana amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Sehingga, guru-guru di pesantren bisa mengajar dengan nyaman dan merasakan hidup yang sejahtera.
Sudah saatnya kita lebih memperhatikan dunia pendidikan pesantren. Pesantren harus ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Pesantren telah memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan generasi berkualitas dan mampu menjaga moralitas bangsa.

G.    Metodologi
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Bisanya upaya pencarian data dalam metode ini dengan cara, pengamatan, wawancara, dan atau penela`ahan dokumen.[21] Cara yang ketiga ini yang akan banyak digunakan karena sesuai dengan objek yang akan ditela`ah.
Metode ini bisa disebut dengan metode kepustakaan. Dalam metode ini, setidaknya ada empat studi yang penting diketahui:
1.      Peneliti berhadapan langsung dengan teks dan data angka dan bukannya dengan pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata berupa kejadian, orang atau benda-benda lain.
2.      Data pustaka bersifat siap pakai
3.      Data pustaka umumnya adalah sumber sekunder yang bukan data orsinil dari tangan pertama di lapangan.
4.      Kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.[22]
Dalam analisa penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah konten analisis. Biasanya langkah yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data, kemudian dianalisis sesuai tradisi analisis isi, juga di dalamnya menggunakan pendekatan analisis konsep.[23] Dalam analisis seperti ini, diawali dengan menelusuri sadalam-dalamnya asumsi pemerintah mengeluarkan PP nomor 55 tahun 2007, dilanjutkan dengan menganalisa dan mendeskripsikan isi peraturan dimaksud dan menjelaskkan dalam hal apa saja PP dimaksud dimungkinkan ke depan akan memberdayakan keberadaan pesantren salaf.
Agar analisa yang dilakukan membuahkan hasil yang akurat dan terhidar dari kekurangan yang berlebihan, maka bahan utama yang akan dikaji langsung adalah PP nomor 55 tahun 2007 beserta pembahasannya dan referensi lain berupa buku, artikel, opini, makalah yang berkenaan dengan kajian dimaksud sebagai bahan pendukung.

I.       Sistematika Pembahasan
Untuk dapat menjaga alur pembahasan secara sistematis, dan untuk mempermudah pembahasan, maka penulis dalam kajian ini mengklasifikasikan isi tulisannya menjadi, sebagai berikut:
Bab Pertama    :  Pendahuluan, meliputi:
                                 Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi Operasional, Tinjauan Pustaka, Metodelogi Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
Bab Kedua      :  Pendidikan Pesantren Salaf, mengkaji tentang:
                           Pengertian Pendidikan Pesantren Salaf, Dikotomi Oreintasi Pendidikan Pesantren, dan Tipologi Pendidikan Pesantren Salaf.
Bab Ketiga      :  PP 55 2007 dan Upaya Revitalisasi Pendidikan Pesantren:
                                 Motiv dikeluarkannya PP 55 2007, Beberapa Unsur Sasaran Revitalisasi PP 55 2007, dan Isi Rekomendasi PP 55 2007.
Bab Keempat  :  Revitalisasi Pendidikan, mendiskripsikan tentang:
                           Pengertian Revitalisasi, Macam dan Prinsip Revitalisasi, Revitalisasi dalam Konteks Pendidikan, Unsur-unsur Revitalisasi Pendidikan, dan Sasaran serta Target Pendidikan
Bab Kelima     :  Penutup, berisi tentang: Kesimpulan dan Saran-saran.




[1] MH. Said Abdullah (2007), Pesantren, Jati Diri dan Pecerahan Masyarakat,Said Abdullah Institut Publising, Jakarta, hlm. 8
[3] Hasbullah, M, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan,  PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 149
[4] Mustafa Kamal, “Sejarah Islam di Indonesia” dalam http://www.dakwatuna.com2007 sejarah –islam-di-indonesia
[5]  Moestopo M. Habib (2001), Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan, Jendela, Yogyakarta , hlm. 150
[6]  Sutjiatiningsih, Sri & Slamet Kutoyo (1986), Sejarah Pendidikan Jawa Timur, Jendela, Yogyakarta, hlm. 51
[7] Agus Syafii, “Pesantren: Dulu dan Sekarang” dalam http://www.mubarok-institute.blogspot.com (11 September 2006)
[8] Maksum (1999), Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, hlm. 123
[9] Deliar Noer (1983), Administrasi Islam di Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta , hlm. 55
[11] Irwan Prayitno, “Revitalisasi Pendidikan Pesantren” dalam http://www.irwanprayitno.info.artikel (2 Mei 2008)
[12] Depatemen Pendidikan Nasional (2005), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, ed. Hasan Alwi, et. al. Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 954
[13] Soedijarto (1987), Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu.Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 126
[14] Ahmad D. Marimba (1987), Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, PT. al-Ma`arif, Bandung, hlm.19
[15] Badri (2007), Pergeseran Leteratur Pesantren Salafiyah, Puslitbang Depag, Jakarta, hlm. 109
[16] Ibid., hlm. 110
[17] PP nomor 55 Tahun 2007
[18] Bruinessen, Martin Van (1999), Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Mizan, Bandung.
[19] Achmad Sadid Jauhari, “Problematika Pesantren Salaf Masa Kini” dalam http://www.nu.or.id. (08 September 2008)
[20] AM. Fatwa, “Masa Depan Pesantren” dalam http://www.pesantrenvirtual.com
[21] Moleong J Lexy (2008), Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja rosda Karya, Bandung, hlm. 9
[22] Mestika Zed, “Metode Penelitian Kepustakaan” dalam http://www.histori2001.multiply.com/jurnal/item/44 (7 Mei 2001)
[23] Neong Muhadjir (1992), Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, hlm,79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar